RAYAKAN ULANG TAHUN KE-68, H. SUDIRMAN SYAIR BEBERKAN RIWAYAT HIDUPNYA
Senin, 3 Safar 1442 H - 21 September 2020 M
Dilaporkan oleh: F. Malin Parmato
Ulang Tahun ke-68 H. Sudirman Syair |
Menurut Buya Sudirman, semua yang diraihnya tak lepas dari perjuangan gigih, ulet, sungguh-sungguh, kekompakan tim, doa dan tentu saja pada akhirnya semua yang berhasil diraihnya adalah atas izin Allah SWT. Para santri dengan khusuk mendengarkan kisah hidup yang disampaikan langsung oleh Buya yang pada hari ini (Senin, 21 September 2020) dilantik sebagai salah seorang pengurus Pokdar Kantibmas kab. Lima Puluh Kota di gedung Perpustakaan Bung Hatta Bukittinggi ini.
Bagi Buya Sudirman, peringatan Milad di tengah-tengah para santri bertujuan untuk mendidik dan mengarahkan agar peringatan hari ulang tahun oleh santri tidak diisi dengan acara-acara mengarah kepada mudharat dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Oleh sebab itu, peringatan Milad Buya Sudirman yang ke-68 juga diisi dengan tauziah. Dengan begitu, para santri dapat memperoleh ilmu yang bermanfaat di acara peringatan Miladnya.
"Dengan ini kita juga ingin mengajarkan kepada para santri agar tidak merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Tapi isilah dengan acara-acara yang bermakna," kata Buya Sudirman menandaskan.
Nama lengkap saya adalah H. Sudirman Syair, Amd Dt. Samulo Nan Balopiah. Sesuai KTP, nama saya adalah Sudirman Syair, tempat / tanggal lahir di Taeh Baruh, 19-09-1952, golongan darah saya adalah O. Alamat tempat tinggal di komplek Ponpes Ma’arif Assa’adiyah Batu Nan Limo nagari Koto Tangah Simalanggang, kecamatan Payakumbuh Kabupaten Lima Puluh Kota. Kalau dibawa kepada penanggalan Islam, kelahiran saya adalah pada hari Jum'at, 29 Dzul Hijjah 1371 H.
Saya merasa haru meneteskan air mata sembari berucap syukur ke hadirat Allah SWT. Teringat zaman dahulunya, semasa saya usia remaja, umur 15 tahun, sekitar tahun 1966, ketika itu saya diserahkan oleh abah saya Muhammad Syair bersekolah di Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI Surau Baru) Mungka menimba ilmu agama kepada Syekh Muhammad Djamil Sa’adi, ustazd Syarkawi Bur, ustazd H. Zubir Dt. Bujang Nan Hitam beserta guru-guru lainnya di sini yang ‘alim lagi zuhud.
Di situlah semua pengembaraan intelektual keagamaan saya bermula, hingga kemudian sampailah kepada usaha mengembangkan suatu lembaga pendidikan Agama Islam yang mewarisi semangat Syekh Muhammad Sa’ad AL-Khalidi Mungka. Lembaga itu saya beri nama dengan “Pondok Pesantren Ma’arif Assa’adiyah”. Pesantren itu saya bangun di Batu Nan Limo nagari Koto Tangah Simalanggang kecamatan Payakumbuh Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.
Dulu ketika Syekh Muhammad Sa’ad AL-Khalidi Mungka wafat, anak beliau Syekh Muhammad Djamil Sa’adi masih kecil. Saya bertemu dan belajar dengan Syekh Muhammad Djamil Sa’adi adalah ketika beliau sudah berusia sepuh juga.
Ayah beliau Syekh Muhammad Sa’ad AL-Khalidi Mungka (1857-1922) adalah salah seorang ulama besar terkemuka Minangkabau yang menjadi Tokoh Tarekat Naqsabandiyah al-Khalidiyah dan menjadi salah seorang guru dari ulama-ulama besar Minangkabau di masanya.
Selain dari jalur Syekh Muhammad Djamil Sa’adi, saya juga memiliki jalur keilmuan dari Syekh Abdul Wahid ash-Shalihi Tabek Gadang ini hingga sampai kepada Syekh Muhammad Sa’ad AL-Khalidi Mungka. Dari Syekh Abdul Wahid ash-Shalihi kemudian turun kepada salah seorang murid beliau yaitu Syekh Haji Mukhtar Angku Lakuang pimpinan MTI Koto Panjang Lampasi Payakumbuh. Setelah dua tahun belajar di MTI Surau Baru Mungka, pada tahun 1971 saya pindah ke MTI Koto Panjang belajar dengan Angku Lakuang dan guru-guru lainnya di sana sampai tamat kelas 7 pada tahun 1974.
Abah saya bernama Muhammad Syair, sedangkan abah beliau bernama Muhammad Saidi. Mereka berdua adalah tokoh agama, datuk saya Muhammad Saidi adalah seorang mursyid Tariqah Naqsabandi, beliau dikenal masyarakat sebagai ulama di kampung. Adapun ibu saya bernama Sa’adah, dipanggil “Sa’a”. Saya memanggil “amai” kepada beliau. Ibu beliau (nenek saya) bernama Dina berasal dari Talago Taeh Bukit, suku Pitopang. Hanya itu yang saya ketahui mengenai silsilah keturunan ibu dan nenek saya itu.
Abah saya pekerjaannya adalah menjual Lomang Kalamai dengan Gerobak Kayu ke pokan-pokan (pasar). Biasanya beliau berjualan itu adalah setiap hari Sabtu di pokan Donguang-donguang dan Selasa di pokan Mungka. Pergi pagi dan pulang pada sore harinya, bahkan ada juga pulang sampai larut malam.
Saya lahir ketika kondisi negara kita Indonesia ini belum stabil, sehingga orang tua memberi saya nama Sudirman Syair yang di-tafa’ulkan kepada nama Almarhum Jenderal Besar Sudirman (w. 1950). Sedangkan Syair diambil dari nama abah saya Muhammad Syair.
Saya sama sekali tidak memiliki saudara kandung se ayah dan se ibu, anak beliau hanya saya sendiri saja. Kalaupun ada abah saya memiliki istri yang lain, namun mereka tidak punya keturunan. Perkawinan pertama ibu saya Sa’adah adalah pulang ke induk bako, suami beliau yang pertama bernama Datuk Ahmad Dajo kemenakan kandung dari ayah beliau. Dari beliau itu ibu saya mendapat seorang anak yang bernama Aminu Rasyid, sewaktu kecilnya Aminu Rasyid ini sepermainan dengan Prof. Drs. Mardjani Martamin Taeh Bukit, namun ketika usia 18 tahun Aminu Rasyid meninggal dunia.
Pernikahan beliau dengan Datuk Ahmad Dajo tidak bertahan lama lalu mereka bercerai kemudian berjodoh pula ibu saya itu dengan abah saya Muhammad Syair. Pernikahan mereka itu terjadi sekitar tahun 1949 yaitu sewaktu hangat-hangatnya peristiwa Agresi Militer Belanda II. Dari pernikahan itu mereka punya anak satu-satunya yaitu saya, baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah.
Iman Datuak
Teman
mengaji dan teman sepermainan dengan saya banyak yang senama dengan
saya, yaitu “Iman”. Ketika kecil nama kesayangan saya adalah “Iman”,
baru sekarang ini orang mengenal nama saya sebagai Sudirman Syair, kalau
dulu orang taunya hanya Iman Datuak.
Jadi karena banyaknya teman
yang bernama “Iman” mungkin jumlahnya sampai belasan orang, lalu
masing-masing kami dibedakan nama masing-masingnya dengan tambahan
embel-embel seperti Iman Madi, Iman Oya, Iman Ketek, Iman Balando dan
saya sendiri adalah Iman Datuak atau Iman Atuak, maksudnya adalah Iman
anak Atuak. Atuak itu adalah panggilan orang-orang terhadap abah saya,
beliau dipanggil atuak karena beliau sudah tua. Dan ada juga teman saya
yang tidak ada tambahan embel-embel nama lalu ia dipanggil saja dengan
“Iman Ajo”.
Mungkin panggilan “Iman Atuak” itu menjadi do’a bagi saya, karena dikemudian hari saya memang diangkat orang menjadi Datuak atau Pengulu di Pesukuan saya dengan gelar Datuak Samulo Nan Balopiah, sama juga dengan orang kampung saya namanya Tami Oji, akhirnya dia pergi haji lalu dipanggil Haji Tami, ada juga Ucan Oji kemudian hari dia dipanggil Haji Ucan.
Guru Pertama Saya
Karena pernah mendapat didikan Belanda dan juga sekolah agama, itulah yang membuat abah saya menjadi disiplin dan sangat perhatian terhadap pendidikan anak-anaknya.
Guru pertama saya adalah abah saya Muhammad Sya’ir, beliau mengajari saya membaca huruf-huruf Hijaiyah, mengkaji al-Qur’an, do’a-doa, menghafal ayat-ayat, hadis, bacaan shalat dan menghafal cerita-cerita Nabi dan cerita Rasul, saya diajari juga berpidato. Sekitar tahun 1960 pada usia 9 tahun, ketika bacaan al-Qur’an saya sudah lancar barulah beliau mau menyerahkan saya belajar mengaji kepada seorang guru ngaji di dekat rumah kami yang bernama Iyek Gilan. Ketika itu saya juga baru masuk kelas 1 SR (Sekolah Rakyat).
Belajar Mengaji
Tibalah waktunya saya diserahkan belajar mengaji kepada Iyek Gilan. Beliau ini termasuk saudara juga oleh abah saya. Iyek Gilan sebaya dengan abah, ketika itu umurnya kira-kira 50 tahun. Surau beliau hanya berjarak 70 m saja dari rumah kami, di suraunya itu kami belajar mengaji sebanyak lebih kurang 50 an orang murid dengan jadwal belajar setelah Magrib sampai pukul delapan malam.
Untuk memasukkan saya mengaji, terlebih dahulu abah saya membuat suatu acara jamuan makan di rumah kami dengan mengundang seorang Tuak Angku untuk mendoa, mengundang Iyek Gilan, keluarga dekat, serta tetangga sekitar.
Setelah makan bersama lalu abah menyampaikan maksud keinginannya kepada Iyek Gilan. “Ini anak Gilan akan saya suruh mengaji kepada Gilan. Jadi sebagai Pancuang Kalam, ini saya serahkan kepada Gilan beras dan rotan, jikalau dia bandel tolonglah pukul dia dengan rotan ini” katanya. Beras itu entah berapa gantang takarannya saya tidak begitu memperhatikan, ada pula beberapa lembar uang di situ, begitulah kira-kira tata caranya, kemudian ditutup dengan bacaan do’a selamat.
Pada hari pertama di Surau Iyek Gilan, saya mesti menunggu dulu semua orang hingga selesai mengaji, setelah itu barulah Iyek gilan memanggail saya untuk mengaji. “Hai Man, kesinilah! Mengaji dengan saya” kata Iyek Gilan sambil memegang-megang rotan. Lalu beliau asah saya tentang masalah Makhrij, tajwid, dan ayat-ayat tertentu lainnya, saya diasap sampai menangis. “Menangis kamu ya? Apa yang bisa kamu dapatkan dari menangis itu?” hardiknya.
Saya lari pulang, sesampai di rumah saya dihardik pula oleh abah “hei mengapa kami lari pulang?”. “Iyek Gilan marah-marah aja abah” jawab saya ketus. “Marah.. marah apa?” katanya bergegas mengambil segenggam lidi Enau, sekitar tujuh batang lidi lah, lalu betis saya dipukul sampai bergaris-garis merah, saya meraung-raung kesakitan menangis mintak ampun. Rupanya penderitaan saya di rumah lebih parah lagi daripada yang saya dapatkan di surau tadi. Sejak sa’at itu, bagaimanapun besarnya penderitaan saya dikala mengaji di surau, saya tidak akan pernah lagi mengadu lari pulang ke rumah.
Masuk SR
Tahun 1960 pada usia 9 tahun saya dimasukkan abah ke SR (Sekolah Rakyat) yang terletak di SDN 01 Taeh Baruah sekarang, yang gedungnya besar itu. Dulu sekolah itu terdiri dari SR 01 dan SR 02, saya sekolah di SR 02 nya ketika itu.
Saya masuk SR pada usia yang agak panjang disebabkan karena terhambat oleh peristiwa perang saudara pergolakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) (1958 - 1961). Aktifitas Sekolah Rakyat (SR) untuk sementara waktu dihentikan dulu selama 2 tahun di SR Pakan Jum’at Taeh Baruah, sedangkan di Pakan Rabaa Simalanggang hanya dihentikan selama 1 tahun saja dan di Koto Baru tidak ada diundur sama sekali.
Dalam rentang waktu selama perang saudara itu saya mendapatkan pendidikan privat dari Abah saya di rumah. Setelah keadaan aman barulah saya dimasukkan ke SR. Syarat masuk SR ketika itu adalah menjangkau kuping. Kalau tangan sudah bisa menjangkau telinga baru bisa diterima di sekolah, sedangkan ketika itu usia saya sudah 9 tahun tentunya tangan saya sudah teramat panjang jadinya kan.
Ketika itu saya adalah salah seorang anak kecil yang disayangi oleh Tentara Luar (tentara PRRI). Masa itu masyarakat lebih mengenal istilah tentara luar dan tentara dalam. Kalau tentara luar itu adalah sebutan untuk tentara PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), sedangkan tentara dalam adalah sebutan untuk APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia).
Tentara luar yang akrab dengan kami ketika itu adalah Tentara Pelajar (TP), selain itu ada pula tentara mahasiswa (TM) dan tentara reguler yang disebut Depot Batalyon Infanteri (DBI). Zaman itu para pelajar yang terpanggil hatinya untuk berjuang bersama PRRI akan dilatih ilmu kemiliteran selama tiga bulan kemudian diberi senjata.
Situasi perang sudah menjadi pemandangan keseharian saya ketika itu. Saya hafal dan kadang lebih mengerti tentang nama-nama senjata daripada tentara TP yang baru-baru, semisal Bren, LMG, Canon, Mortir, Bazoka, dan lain-lain, itu sudah menjadi permainan saya waktu kecil itu.
Waktu itu ke sekolah kami tidak memakai baju seragam, pakaian yang dipakai ke sekolah diserahkan kepada kemampuan orang tua masing-masing saja. Abah membelikan saya satu stel pakaian baju dan celana berukuran besar untuk dipakai ke sekolah namun sepatu atau terompah tidak ada. Kata abah “cukup sekali tiga tahun saja beliau membelikan pakaian untuk saya” karena keadaan ekonomi yang sangat susah ketika itu. Dari kelas 1 sampai kelas 5 saya tidak pernah memakai sendal ke sekolah, berjalan berkaki ayam saja.
Abah tidak mau memperturutkan keinginan saya membeli pakaian yang sesuai dengan kehendak hati saya, namun bila harus dibelikan juga ada syaratnya yaitu saya mesti juara kelas, juara satu, dua atau tiga.
Cara Abah mendidik Saya
Abah saya orangnya sangat disiplin, setelah saya pulang sekolah bukanlah perkara makan yang pertama kali ditanyakannya kepada saya, namun beliau bertanya mengenai shalat. “Eh Man... ! kamu sudah shalat?”, “belum abah”, “ya shalatlah dulu, shalat dulu, ini sarung, ambil wudhuk, shalat ya..” katanya. Bila ketika itu beliau juga belum shalat, maka beliau langsung jadi imam dan saya wajib mengikutnya jadi makmum. Kemudian setelah selesai shalat, “makan lagi, makan, makan..” katanya, lalu saya makan bersama ibu saya. Setelah makan, lalu abah bercerita-cerita dengan saya tentang pelajaran saya di sekolah. “Bagaimana tadi? Apa belajaran kamu” katanya.
Kadang-kadang sekali seminggu, atau sekali 15 hari beliau wajib bertemu dengan guru saya menanyakan “bagaimana kondisi Sudirman sekolah?, bagaimana nilainya?”, ini selalu dilakukannya. Jikalau ada nilai saya yang buruk, maka habislah saya diasap sampai di rumah. “Itu nilai pelajaran berhitung kamu tadi saya lihat, banyak salah, mari perbaiki lagi” katanya.
Jikalau saya sudah sampai di rumah, abah tidak akan mengizinkan dulu saya bermain keluar rumah, untuk bermain keluar ada pula jadwalnya yaitu setelah shalat Ashar. Abah tidak melarang saya bermain dengan siapa pun juga, namun beliau selalu mengingatkan saya dengan memberi catatan tentang perilaku teman mana yang baik bagi saya dan mana yang tidak baik. “hati-hati berteman dengan si anu ya, seharusnya temanmu itu adalah si anu, dia lebih bagus akhlaknya”, katanya. Itulah didikan beliau supaya saya lebih baik dan lebih arif di dalam pergaulan. Kemudian bila sudah masuk waktu magrib lalu saya pergi mengaji ke surau Iyek Gilan.
Abah memotivasi saya untuk belajar berceramah, kapan ada waktu luang saya disuruh latihan berceramah berdiri di atas peti di rumah. Seakan diatas mimbar saja rasanya.
Beliau mengajari saya mulai dari mengucapkan salam, membaca muqaddimah pidato lalu menyapa hadirin “ibu-ibu, bapak-bapak, hadirin, hadirat, yang dirahmati Allah, kun fiddunya ghariybun, adalah kamu di dunia ini seperti orang yang merantau, wa saya’uudu Raghib. Orang yang merantau itu pasti akan pulang kembali ke kampungnya. Jadi bapak-bapak, ibu-ibu kita bersiap-siaplah akan pulang kampung, rajin-rajinlah beramal, ta’at beribadah, sempurnakan shalat, ya mengabdi kepada Allah, itu nanti bekal kita untuk pulang kampung, semoga kita selamat dunia akhirat”.
Abah tertawa sambil bertepuk tangan mengapresiasi kebolehan saya berpidato. Itulah contoh bahan pidato yang beliau ajarkan kepada saya. Ketika ada acara yasinan atau shalawatan saya dimintanya untuk menyampaikan pidato tersebut.
Diizinkan Tidur di Surau
Tahun 1962 waktu saya sudah berumur 10 tahun kalau tidak salah dimana ketika itu saya masih duduk di kelas 2 SR, abah mengizinkan saya pada malam harinya tidur di surau. Pasalnya karena saya sudah lancar mengaji, sudah bisa membaca al-Qur’an. Sudah lama saya berkeinginan tidur di surau bersama kawan-kawan, namun abah mensyaratkan supaya saya pandai mengaji dulu baru boleh tidur di surau.
Bila magrib datang, kami pergi mengaji ke surau Iyek Gilan kemudian setelah Isya bersama kawan lainnya kami ke Surau Ongku Boncah atau ke surau Datuk Haji Na’im lalu tidur di situ. Surau Ongku Boncah Itu tidak jauh dari rumah kami, terletak 50 m dari surau Iyek Gilan, nama tempatnya adalah Tanjuang Joriang jorong Kubu Gadang nagari Taeh Baruah, di sanalah tempat kami diasuh dan dibesarkan sewaktu kecil.
Belajar Bercerita
Menjelang tidur pada malam harinya di surau ada satu kebiasaan kami yang unik, yaitu bercerita (mendongeng) atau bakaba sambil menggarut-garut punggung kawan. Di kelompok saya ada sekitar 8 orang, masing-masing kami bergantian bercerita setiap malamnya. Bila seorang bercerita maka yang lainnya menyimak mendengarkan. Kadang-kadang ketika bercerita itu, ada pula kawan yang tertidur, berangsur-angsur rebah satu per satu, tinggal lah si tukang cerita saja lagi bercerita sendiri. Adapun subuh hari, semuanya bangun, dibangunkan oleh orang surau.
Nah untuk menghindari ngantuk dibuatlah peraturan bahwa si pendengar diharuskan menggarut-garut punggung kawan atau mencari bintik-bintik gatal di punggung kawannya, itu senang sekali rasanya itu. Saya menggarut punggung kawan dan kawan yang lainpun menggarut punggung saya pula. Kalau ada aktifitas tentu ngantuk hilang jadinya kan dan si tukang cerita tetap bersemangat bercerita jadinya.
Kawan-kawan itu, berbagai-bagai saja yang mereka ceritakan, ketika itu saya tidak tahu berjenis apa cerita-cerita itu, namun kemudian setelah menjadi guru Bahasa Indonesia barulah saya tahu bahwa yang dikisahkan itu ada yang berjenis cerita Fiksi atau yang dibuat-buat saja, ada pula Fabel yaitu tokoh cerita dan pelakunya binatang, ada pula cerita Sage tentang asal-usul nama tempat atau Cerita Berbingkai yang tidak tahu dari siapa cerita itu bermula yang penting ceritanya begini, begitu saja.
Diantara cerita Fabel yang diceritakan teman-teman itu adalah mengambil topik tentang Kancil si cerdik, Singa sebagai raja rimba, Monyet, Buaya dan lain-lain. Mengenai asal-usul nama tempat misalnya cerita asal-usul nama Taeh yang diambil dari nama sebatang pohon yang bernama batang Taeh.
Teman-teman berlomba-lomba mencari bahan cerita, ada kalanya cerita itu didapat dari orang lain, ataukah dari hasil membaca buku, dikarang sendiri dan lainnya. Jadi situasi itu membuat anak-anak menjadi kreatif dalam mengarang cerita, karena sedari kecil mereka sudah terbiasa mengarang cerita.
Pergolakan PKI
Pada masa saya usia kelas 5 dan kelas 6 SD, ketika itu masa-masa tegang suasana pergolakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tersebutlah ketika itu. Orang-orang kampung yang sehaluan dengan Komunis ketika itu amat runcing tanduknya, mereka bergabung dengan tentara pusat dan OPR membasmi orang-orang yang mendukung tentara luar (PRRI). Bahkan mereka orang-orang kampung ini lebih nampak kekejamannya daripada aparat, sampai ada yang membunuh orang, menciduk ulama, sampai-sampai ada pula yang menginjak-nginjak perut orang hamil hingga tewas. Diantara korbannya adalah Darusan Dt. Pobo, Nazar (Nasa Baliang), pak etek saya Marullah Pendek Dt. Bosa nan Panjang, Kani Ceropong, seorang istri polisi dan lain-lain sebagainya.
Setelah saya tamat SD (Sekolah Dasar) pada akhir tahun 1966, masih dalam suasana penumpasan Gestapu PKI. Abah memasukkan saya menyambung pendidikan ke MTI (Madrasah Tarbiyah Islamiyah) Surau Baru Mungka yang diasuh oleh Syekh Muhammad Djamil Sa’adi.
Pada awalnya abah berencana akan memasukkan saya ke MTI Canduang Agam, tetapi karena beliau sudah uzur dan lelah akhirnya saya beliau masukkan ke MTI Surau Baru Mungka Pimpinan H. Muhammad Djamil Sa’adi (W. 1971) anak dari Syekh Sa’ad AL-Khalidi Mungka (1857 – 1922). Pada masanya Syekh Sa’ad adalah salah seorang ulama besar, tokoh tarekat Naqsabandiyah al-Khalidiyah, juga sebagai guru dari ulama-ulama besar terkemuka Aswaja Minangkabau.
Saya diantar langsung oleh abah menemui gurunya H. Djamil Sa’adi, menyerahkan saya untuk belajar ilmu Agama dengan beliau di MTI Surau Baru Mungka. Ketika itu usia saya sudah 15 tahun, sudah agak mandiri juga tinggal di asrama.
Saya bersama puluhan kawan lainnya dulu tinggal di surau almarhum H. Muhammad Jamil Sa’adi yang terletak di depan masjid Assa’adi, dulu surau itu terbuat dari kayu semuanya, itulah asrama kami. Kalau murid-murid perempuan dulunya tinggal di sebelah masjid Sa’adi, asrama mereka yaitu di surau Syekh Imam Agus Dt. Monti.
Kami belajar layaknya seperti Madrasah Salafiyah sekarang ini, ada jam pelajarannya, ada kitab-kitanya, menulis juga, masuk pagi dan pulang siang hari, kemudian shalat, makan, dan istirahat. Pada sore harinya ada pula kawan yang berlarian, main layangan, memancing belut.
Kami memasak satu periuk lalu makan sama-sama dengan sambal bawaan masing-masing dari rumah. Saya waktu itu tidak ada main-main, fokus belajar saja, saya tidak ada ke sana kemari. Pada malam harinya kami belajar juga di Surau tentang masalah ilmu Fiqh, ilmu kewarisan, ilmu tasauf dan ilmu nahwu saraf dengan Buya H. Muhammad Jamil Sa’adi.
Abah saya Meninggal Dunia
Ketika saya masih duduk di kelas 3 MTI Surau Baru Mungka, sekitar bulan Januari tahun 1969 abah saya Muhammad Syair meninggal dunia dalam usia 65 tahun, beliau ketika itu wafat dalam kondisi sakit.
“Man, tolong kesini kamu lah!” panggil Abah. “ada apa abah”. “Tolong dukuang saya di punggungmu, dukuang saya ya Man, sekali ini saja saya minta gendong kepada kamu” kata abah memohon. Lalu saya dukuang lah baliau itu di pungguang saya, beliau bergelayut ke bahu dan leher saya. Tidak lama kemudian beliau minta turun “sudah Man, sudah cukup, sudah kamu dukung saja saya sudah senang hati saya” kata abah.
Bengkak rasanya tenggorakan saya menahan isak tangis, air mata meleleh tidak tertahankan di sudut mata saya. “Seumur hidup, saya sudah mencoba kamu dukuang (gendong) Man, sudah senang hati saya, sudah cukup rasanya, saya sudah mencoba kamu dukuang, mudah-mudahan berkah” kata beliau sumringah.
Pada hari Kamis berikutnya sekitar jam 3 sore, beliau anfal, keringat bercucuran keluar dari kepalanya sampai ke ujung kaki. Saya dibikin cemas. Berliau berkata “Man! Tolong panggil Tuak Ongguang lah”. Datuak Ongguang itu adalah kawan beliau seorang mursyid Tariqat Naqsabandi, tempat beliau adalah di surau Ongku Boncah. Abah jauh lebih tua dari Datuak Ongguang itu.
Lalu Datuak Ongguang datang, “Ooo Onggung! Yang mana kaji yang akan saya pakai? Yang diatas atau yang di bawah? Saya tidak tahu” kata abah. Datuak Ongguang menjawab “Yang mana yang mamak senang saja lah!” katanya kepada abah. “Aa jadilah, insyaallah akan saya lakukan” kata abah.
Lalu abah meminta saya lagi “Man tolong katakan kepada tamu-tamu yang akan naik ke rumah ini membezuk saya supaya mereka hati-hati, jangan kuat-kuat berjalan, jangan sampai bertanya-tanya, jangan pula mengobrol, ragu saya jadinya.” “Baik abah” jawab saya.
Rumah kami ketika itu kan rumah kecil terbuat dari papan, lantainya terbuat dari pelupuh. Tidak sampai 10 menit setelah itu Datuak Ongguang berkata kepada saya “Man! Abah kamu sudah pergi”. Saya berucap “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun”. Ikhlas saya melepasnya, walaupun hati ini mencoba tenang, namun perasaan belum bisa menerimanya. Terbayang seluruh jasa-jasa orang tua yang belum bisa saya balas, saya belum sempat menyenangkan beliau. Oh abah... semoga engkau bahagia di alam sana, semoga Allah menerima engkau di Sisi-Nya dan mengampuni segala dosa-dosa abah.
Meninggalnya abah sangat mempengaruhi hidup saya. Betapa tidak, beliau yang menjadi tulang punggung keluarga telah tiada, tinggallah saya dengan Amai yang berusaha menyesuaikan diri hidup tanpa abah.
Pindah ke MTI Koto Panjang
Beberapa minggu sepeninggal beliau, semangat belajar saya menurun, saya kehilangan motivasi bersekolah jadinya. Ditambah lagi kondisi guru kami Buya H. Muhammad Djamil Sa’adi sudah uzur pula, beliau sering sakit-sakitan, tidak sanggup lagi mengajar kami. Ustazd Zubir Dt. Bujang Nan Hitam, salah seorang guru kami di MTI Surau Baru Mungka itu sangat hiba dan begitu perhatian kepada saya. Beliau dengarkan keluhan hati saya dan bicara dari hati ke hati dengan saya.
“Di MTI Surau Baru ini tidak ada buya lagi ustazd, itulah yang membuat saya kurang minat lagi untuk belajar. Saya mau pindah saja ke MTI Koto Panjang ustazd saja, anak-anak Koto Panjang itu prestasinya menonjol dimana-mana.” kata saya.
“Kalau begitu, pindahlah kamu sekolah ke sana, nanti akan saya bantu” kata ustazd Zubir Dt. Bujang Nan Hitam. Saya sangat senang, dan berharap mudah-mudahan mendapat spirit yang baru dalam menunaikan tugas belajar.
Bulan Februari tahun 1969, yaitu di akhir Catur Wulan ke-2, saya diantar langsung oleh ustazd Zubir Dt. Bujang Nan Hitam menemui Syekh Haji Mukhtar Angku Lakuang memasukkan saya ke MTI Koto Panjang. Sebelum diterima, saya diuji dulu membaca matan kitab kuning dan saya lulus. Dan saya mendapat tempat tinggal di surau Buya Ongku Kotik, beliau adalah kepala MTI Koto Panjang yang pertama.
Raport Saya Merah 9 Mata Pelajaran
Ketika itu kondisi saya sangat sulit, perlu banyak penyesuaian, saya tinggal dari segi pelajaran, ekonomi sayapun susah, tidak ada lagi abah yang membackup kami, karena beliau sudah meninggal. 1 bulan kemudian sampailah kami pada ujian Catur Wulan ke-2 yaitu pada bulan Maret 1969. Pada buku raport saya tertera nilai hasil ujian itu, sangat menyedihkan, 9 macam diantara mata pelajaran saya itu nilainya merah.
Setelah libur ujian, kami masuk lagi belajar di Catur Wulan ke-3. Saya harus bersungguh-sungguh belajar, terus berjuang berusaha memperbaiki nilai mata pelajaran saya yang rusak itu. Saya berusaha bekerja keras membuktikan bahwa saya mampu untuk itu.
Ketika pulang dari sekolah, saya sering menghafal hadis, fokus mengulang pelajaran sendiri saja di rumah tiang sembilan milik Ongku Kotik yang terletak di dalam kebun nenasnya. Sedangkan pada malam harinya saya mengulang pelajaran lagi dengan Ongku Kotik di surau. Dengan usaha itu, alhamdulillah pada ujian kenaikan kelas, tidak ada satupun nilai mata pelajaran saya yang merah, bahkan saya mendapat juara ke-3.
Kesungguhan menuntut Ilmu
Pada tahun 1970, setelah naik ke kelas 4 Tarbiyah (MTI Koto Panjang) saya jadi terbiasa dengan Kaji Batungkuih (syurahan pelajaran yang sudah matang dari guru di rumah). Untuk belajar kitab, saya sangat suka mencari lawan berdiskusi, bermujadalah. Sehingga dengan demikian Ongku Lokuang sayang kepada saya.
Kesungguhan saya menuntut ilmu ketika itu sangat tinggi, bukan hanya di sekolah, namun saya juga menambah ilmu di wirid rutin majelis taklim MTI Taeh yang diasuh oleh ustazd Zubir Dt. Bujang Nan Hitam, kemudian saya ada juga mengikuti wirid rutin majelis taklim surau Tada dan masjid Baiturrahmi Kubu Gadang Taeh.
Setiap acara wirid pengajian, saya ditugaskan untuk menabuh beduk untuk memanggil jama’ah, setelah shalat Magrib saya ulangi lagi menabuh beduk sekali lagi. Ketika itu alat pengeras suara seperti mik belum banyak seperti sekarang ini.
Menjelang jama’ah berkumpul, saya isi dengan mengaji membaca Al-Qur’an. Kemudian saya juga ditugaskan untuk menjadi protokol memimpin acara. Minimal dalam satu bulan ada 4 kali wirid yang saya ikuti, saya ditugaskan untuk memimpin acara itu.
Lama kelamaan kemampuan saya meningkat, saya belajar berceramah menyampaikan pelajaran-pelajaran yang saya dapat di sekolah. Sebelum buya berceramah, sayalah terlebih dahulu yang berceramah. Awalnya biasa-biasa saja namun akhirnya menjadi terbiasa.
Dari wirid-wirid itu saya banyak mendapat sedekah dari jama’ah pengajian. Masih di kelas 3 MTI Koto Panjang, saya sudah bisa berkhutbah. Khutbah pertama saya yaitu di masjid Baiturrahmi Kubu Gadang Taeh. Namanya masjid Baiturrahmi bukan Baiturrahim, letaknya diantara Taeh dengan Mungka hampir ke perbatasan. Kalau dulu masjid itu terletak di dalam kampung, sedangkan sekarang masjid Baiturrahmi itu dibangun ulang di pinggir jalan besar, bentuknya bagonjong-gonjong, sedangkan masjid lama itu dialih fungsikan menjadi mushalla.
Waktu itu ada seorang pegawai Depen, namanya bapak M. Yunus Engku Kali Dt. Indo Marajo, orang Taeh. Ia memperhatikan khutbah saya, ia melihat ada bakat pada diri saya, ia mengajak saya untuk dikader menjadi khatib, saya sangat setuju sekali. Selain saya, juga ada beberapa orang kawan lainnya yang ikut pengkaderan itu, namun inti dari kegiatan itu adalah untuk mengkader saya saja. Sejak itu bertambah-tambahlah kemampuan saya untuk berbicara diatas mimbar.
Kesulitan Ekonomi
Belum sampai 6 bulan saya bersekolah di Tarbiyah Koto Panjang, amatlah terasa oleh saya bagaimana rasanya kekurangan ekonomi sepeninggal abah. Walaupun ada jama’ah wirid yang bersedekah untuk saya, namun amat terasa susahnya mencari biaya hidup dan untuk bersekolah.
Bagaimanapun akal, saya harus berusaha sendiri memikirkan bagaimana caranya supaya saya bisa terus bersekolah. Bagaimanapun juga keinginan itu harus bisa terwujud. Prinsip seperti itu terbawa-bawa oleh saya sampai sekarang “Ba ka baa harus dapek” maksudnya “bagaimanapun juga harus dapat, harus bisa”.
Amai saya nampak masih terpukul dengan kepergian abah. Walaupun saya tinggal di Koto Panjang namun saya sering pulang ke rumah menyilau amai dan memberi uang belanja sekedarnya saja untuk beliau yang masih tinggal di tanah Bako, di rumah kecil mendiang abah, rumah papan berlantai palupuh.
Amai saya Sa’a (Sa’adah) sebenarnya berasal dari Taeh Bukit, beliau dibawa abah ikut tinggal di rumahnya di Taeh Baruah. Ketika abah masih hidup, amai tidak pernah bekerja mencarikan biaya keluarga, beliau disenangkan oleh abah, namun ketika abah sudah tiada, beliau payah jadinya. Hal itu mendorong saya ingin bekerja mencari biaya hidup untuk menafkahi amai dan mencari biaya untuk sekolah saya.
Sudah Mencandu memberi Khutbah
Sejak kelas 4 Tarbiyah Koto Panjang saya senang sekali berkhutbah, agak mencandu rasanya. Bahan khutbah saya semakin banyak. Kemampuan berorasi sayapun bertambah bagus karena diasah terus oleh Alm. bapak M. Yunus Engku Kali Dt. Indo Marajo.
Untuk menyalurkan hobi berkhutbah itu, saya punya cara yang unik, yaitu dengan mendekati datuk H. Muhammad Amin Taeh Bukit, beliau ini ada hubungan karib-kerabat juga dengan saya, termasuk pak etek juga oleh saya.
Setiap hari Jum’at saya cepat pulang sekolah. Saya pacu kecepatan laju sepeda saya biar cepat sampai di Taeh. Saya kejar datuk H. Muhammad Amin ke Suraunya. Dari surau itu saya berjalan mengiringinya ke Masjid, dengan harapan supaya nanti disuruhnya untuk berkhutbah. Itu harapan saya, tetapi saya tidak pernah mengatakannya kepada beliau. Namun beliau sangat memahami keinginan saya.
Hal itu sering terjadi. Bila nanti sudah tiba saatnya masuk waktu Jum’at, Dt. H. Muhammad Amin ini akan melengong kepada saya “Man...! Man..! kamu yang membaca khutbah ya” suruh beliau. Yang demikian itu sering saya lakukan. Begitulah hobi saya sejak dari kelas 4 Tarbiyah Koto Panjang.
Membeli Beruk
Saya baru beberapa bulan duduk di kelas 4 Tarbiyah Koto Panjang, sudah masuk ke Catur Wulan ke-2. Umur saya ketika itu adalah 18 tahun, sudah agak dewasa juga dari ukuran usia normal bersekolah.
Ketika itu saya ada sedikit uang, saya kumpulkan dari sedekah-sedekah jama’ah di surau, lalu saya beli seekor beruk kecil yang sudah pandai memetik kelapa. Dengan beruk itulah saya bekerja mencari penambah-nambah uang belanja.
Hari Ahad di Tarbiyah Koto Panjang kan tidak sekolah, itu hari liburnya, namun di hari Jum’at kami tetap belajar seperti biasa. Jadi setiap hari Ahad, saya bisa menjajakan beruk itu di sekeliling kampung menawarkan jasa memetik buah kelapa.
“Boruak……..!” seseorang memanggil saya dengan panggilan “Boruak”. Lalu saya melengong. “Tolong ambil kelapa saya ya!” pinta orang itu.
Jadi begitulah, saya dipanggil “Boruak”, biasa saja, ini mungkin sama jikalau orang mau membeli sate, dipanggil juga dengan “sate”, atau orang membeli nira dipanggil juga dengan “Niro”.
Ada seorang kaya di Taeh, keluarga abah saya juga, ia memiliki banyak pohon kelapa, Iyek Pani namanya, suaminya bernama Lengah, hampir setiap minggu saya memetik buah kelapanya. Pohon kelapanya amat banyak mungkin sampai ribuan batang.
Dalam sehari itu mungkin bisa sampai 500 buah kelapa masak bisa dijatuhkan oleh beruk saya. Kelapa itu saya kupas dengan Sulo kemudian dianggikkan (dijalin) 10 butir. Beruk saya itu memang pandai memetik buah kelapa yang sudah masak, ataupun kepirauan. Tidak pernah ia salah mengambil kelapa muda. Sesampai di pokok kelapa, saya halau beruk itu hingga memanjat, kemudian saya arahkan beruk itu untuk memetik buah kelapa dengan menarik-narik tali panjang yang diikatkan dilehernya.
500 buah kelapa itu kalau dianggik akan menjadi 50 anggik, upahnya adalah 5 anggik atau 50 butir kelapa, ditambah dengan beberapa butir kelapa karena kasihan. Jadi minimal saya bisa mendapat upah sebanyak 60 butir kelapa.
Kemudian hari, bukan hanya di hari Ahad, di hari-hari lainpun saya sempatkan juga mengambil upah memetik kelapa sepulang dari sekolah. Alhamdulillah rezki saya dimurahkan oleh Allah SWT. Itulah kerja saya untuk mencari nafkah, berulang dari Koto Panjang ke Taeh. Malam harinya kembali ke surau, paginya ke sekolah dan sorenya kadang-kadang pulang ke Taeh mengambil upah memetik kelapa.
Mengajar di MTI Dalam Koto Taeh
Ketika sudah duduk di kelas 5 Tarbiyah, tahun 1971, waktu itu saya berumur 19 tahun. Saya mendapat amanah baru, yaitu mengajar setiap hari Senin dan Kamis di MTI Taeh membantu guru saya ustazd H. Zubir Dt. Bujang Nan Hitam.
Dan hal itu dibenarkan oleh Ongku Lokuang, saya dibolehkan mengajar setiap hari Senin dan Kamis di MTI Taeh, dengan syarat saya mesti mengulang pelajaran dengan buya Nawawi Guguak Nunang. Ketika itu saya memang tinggal di Guguak Nunang di surau buya Nawawi tersebut.
Ini adalah prestasi bagi saya dan sekaligus prestise, dapat mengajar menjadi guru, itu membuktikan bahwa saya sudah mampu dan sudah memiliki ilmu.
Wirid pengajian terus saya ikuti, kadang-kadang mengisi khutbah jum’at pula. Kaum muslimin jama’ah wirid sangat sayang kepada saya.
Zakat 400 gantang padi
Waktu itu panen padi kan dengan cara dituai, tidak disabit seperti sekarang. Setiap panen itu saya mendapat zakat dari jama’ah minimal 30 goni padi tuai. Setiap goni minimal isinya 10 gantang, ada pula yang sampai 50 gantang. 30 goni berarti itu sama dengan 300 sampai 400 gantang jumlahnya. Panen padi dua kali dalam setahun, itu artinya untuk makan dan biaya hidup saya berdua dengan amai sudah cukup diberi Allah Swt.
Ini mungkin Yaj’allahu Makhraja sepertinya, “man yattaqillaha yaj’allahu Makhraja wa yarzuquhu min haitsu la yahtasib, sehingga saya sudah agak jarang jadinya menjajakan beruk karena sudah mendapat support dari jama’ah wirid.
Syekh Muhammad Djamil Sa’adi wafat
Pada tahun 1971 itu, guru saya H. Muhammad Djamil Sa’adi Pimpinan MTI Surau Baru Mungka wafat. Saya sampaikan berita duka itu kepada Syekh Haji Mukhtar Angku Lakuang, beliau mengutus santri kelas 6 sebanyak tiga lokal untuk berta’ziyah bersama guru-guru lainnya ke Surau Baru Mungka itu.
Baca juga H. Sudirman Syair, wakafkan Hidup untuk Ponpes dan Anak Dhuafa
0 Komentar