RIWAYAT HIDUP H. SUDIRMAN SYAIR
H. Sudirman Syair, Amd. Dt. Samulo Nan Balopiah |
MASUK SEKOLAH DAN MENGAJI
Guru pertama saya adalah abah saya Muhammad Sya’ir, beliau mengajari saya membaca huruf-huruf Hijaiyah, mengkaji al-Qur’an, do’a-doa, menghafal ayat-ayat, hadis, bacaan shalat dan menghafal cerita-cerita Nabi dan cerita Rasul, saya diajari juga berpidato.
Sekitar tahun 1960 pada usia 9 tahun, ketika bacaan al-Qur’an saya sudah lancar barulah beliau mau menyerahkan saya belajar mengaji kepada seorang guru ngaji di dekat rumah kami yang bernama Iyek Gilan. Ketika itu saya juga baru masuk kelas 1 SR (Sekolah Rakyat).
Saya masuk SR pada usia yang agak panjang disebabkan karena terhambat oleh peristiwa perang saudara pergolakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) (1958 - 1961). Aktifitas Sekolah Rakyat (SR) untuk sementara waktu dihentikan dulu selama 2 tahun di SR Pakan Jum’at Taeh Baruah, sedangkan di Pakan Rabaa Simalanggang hanya dihentikan selama 1 tahun saja dan di Koto Baru tidak ada diundur sama sekali.
Dalam rentang waktu selama perang saudara itu saya mendapatkan pendidikan privat dari Abah saya di rumah. Setelah keadaan aman barulah saya dimasukkan ke SR. Syarat masuk SR ketika itu adalah menjangkau kuping. Kalau tangan sudah bisa menjangkau telinga baru bisa diterima di sekolah, sedangkan ketika itu usia saya sudah 9 tahun tentunya tangan saya sudah teramat panjang jadinya kan.
Suka Berburu
Sejak masuk sekolah SR, saya suka sekali mengikuti yang tua-tua pergi berburu musang. Bukan berburu babi. Diantara kawan-kawan saya waktu itu adalah Yulismi Ongku Boncah, Am Malin yang sekarang tinggal di Malaysia, dan lain-lain.
Kalau berburu musang itu kita biasanya melakukannya pada malam hari, ketika bulan terang, bulan purnama. Tetapi kadang-kadang juga ada pada siang hari. Kebiasaan berburu musang itu terbawa-bawa sampai saya besar.
Makan Beras
Karena kesulitan ekonomi, sejak kecil kami susah sekali mendapatkan makanan beragam. Setiap hari kami hanya makan nasi saja. Kadang-kadang kami cari buah Paraweh (jambu biji), jambu air dan makanan-makanan lainnya di semak-semak.
Jarang dapat uang belanja, sehingga mulut ini terasa asam karena jarang makan. Untuk mengatasi itu ada kebiasaan saya yang unik, saya sering ngemil makan beras. Sambil lalu, saya ambil sedikit beras lalu saya makan, kemudian pergi lagi main, pulang lagi ke rumah. Tidak ada nampak makanan di dapur lalu saya ambil segenggam beras lalu di simpan di dalam saku celana atau saku baju lalu dimakan berangsur-angsur.
Sambil main dengan kawan-kawan saya keruk saku celana saya, lalu saya makan beras itu sedikit demi sedikit sehingga mulut saya memutih jadinya.
Hafal nama-nama senjata
Basis PRRI ketika itu adalah daerah Bengke [Bengke berasal dari kata Bengkel. Kata itu berasal dari Kilang minyak kelapa milik Suwa. Kilang itu disebut sebagai Bengke Suwa. Satu-satunyo orang yang punya bengkel untuk mengilang minyak kelapa di situ adalah suwa itu. Dia mengilang minyak kelapa dengan tenaga sapi. Makanya daerah dekat situ disebut Bengke.] namanya, dekat Lobuah Putuh di Taeh itu, ada bok di situ satu. Pada masa bergolak PRRI itu, saya adalah salah seorang anak kecil yang disayangi oleh Tentara Luar (tentara PRRI). Masa itu masyarakat lebih mengenal istilah tentara luar dan tentara dalam. Kalau tentara luar itu adalah sebutan untuk tentara PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), sedangkan tentara dalam adalah sebutan untuk APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) atau disebut juga tentara pusat, istilah TNI belum begitu familiar di daerah kita waktu itu.
Tentara luar yang akrab dengan kami ketika itu adalah Tentara Pelajar (TP), selain itu ada pula tentara mahasiswa (TM) dan tentara reguler yang disebut Depot Batalyon Infanteri (DBI). Zaman itu para pelajar yang terpanggil hatinya untuk berjuang bersama PRRI akan dilatih ilmu kemiliteran selama tiga bulan kemudian diberi senjata.
Situasi perang sudah menjadi pemandangan keseharian saya ketika itu. Saya hafal dan kadang lebih mengerti tentang nama-nama senjata daripada tentara TP yang baru-baru, semisal Bren, LMG, Canon, Mortir, Bazoka, dan lain-lain, itu sudah menjadi permainan saya waktu kecil itu.
Lobang Persembunyian
Ketika keadaan kacau, bila telah terdengar suara rentetan tembakan senjata api, atau dentuman granat, terjadi pertempuran antara tentara luar dan tentara dalam, ini biasanya terjadi malam hari atau waktu subuh, dan ada juga pada siang hari. Ketika itu serangan terjadi pada malam hari, kami dibawa oleh orang tua bersembunyi ke dalam lobang perlindungan sedalam sepinggang orang dewasa sampai 1.5 m yang terletak di dekat halaman rumah, berdebar-debar rasanya, takut kalau-kalau ada peluru yang melesat ke arah kami.
Kabarnya yang memerintahkan membuat lobang itu adalah tentara Pusat. Masing-masing rumah harus ada lobang perlindungan katanya. Tapi entahlah maksudnya apa, sejak zaman pendudukan Jepang sudah ada juga perintah membuat lobang seperti itu.
Saya dipeluk oleh abah, terdengar oleh saya beliau berdo’a untuk keselamatan kami. Suasana hening mencekam, matapun tidak dapat dipejamkan, karena suasana begitu tegang, namun akhirnya kami tertidur juga di situ sampai subuh.
Menjelang pagi suara letusan senjata terdengar semakin jarang, hingga beduk subuh ditabuh di masjid dan surau-surau. Amai bangun meraih korek api mencari lampu togok lalu menyalakannya.
Kami satu persatu mulai bangun dan keluar dari lubang perlindungan, udara subuh diluar lubang perlindungan begitu dingin, embun turun menyelimuti tanah, kelihatan seperti kapas beterbangan ketika ditimpa cahaya lampu tempel yang disangkutkan di paku dekat pintu rumah, kita mendekapkan tangan ke dada melawan dinginnya udara subuh, menggigil kedinginan hingga gigi gemertakan. Abah baunduang-unduang kain sarung sedangkan amai saya memakai kain panjang menyelimuti badannya.
Belum semuanya tenang, suasana masih mencekam, tapi tidak seperti beberapa jam sebelumnya, disaat suara tembakan dan dentuman senjata api saling bersahutan. Tentara luar kembali ke bukit-bukit sekitar Taeh, beristirahat serta menyusun kekuatan untuk melakukan serangan balik terhadap tentara dalam.
Kombuk Mansiang
Saya waktu itu masih kecil, tidak mengerti apa-apa, setelah keadaan tenang pada pagi harinya lalu kami keluar. Salah satu kesenangan kami adalah keluar menenteng Kombuk Mansiang mengumpulkan selonsong peluru yang berserakan bekas tembak-menembak tadi malam untuk bermain.
Ada yang lucu, si Agus namanya anak dari Rifai atau yang lebih dikenal ketika itu dengan sebutan Pa’i Mogek dan ibunya bernama Lasun. Ketika mengumpulkan selonsong peluru itu, si Agus mendapatkan serantai peluru aktif, lebih kurang isinya 5 butir peluru, peluru itu dibawanya pulang ke pondoknya. Peluru itu diletakkannya di dalam lesung (tempat menumbuk padi) lalu diambilnya alu. Mungkin ia ingin mengambil selonsongnya untuk bermain, dengan serampangan ditumbuknya rangkaian butir peluru itu, tentunya terjadi ledakan, peluru itu menyambar ke mana-mana, ada yang ke samping, ke atas, ke pintu, dan ada juga yang melesat ke bawah pondok menyasar pinggul ibunya hingga ibunya mengaduh kesakitan, nasib baik untung saja peluru itu tidak membunuhnya. Ya itulah nostalgia, kenang-kenangan yang lucu saya sewaktu kecil, dimana hal itu masih dianggap mainan.
Bok Tentara
Pada masa itu di sekitar Surau Boncah Taeh Baruah terdapat banyak Bok tempat pelepasan senjata berat oleh tentara luar.
Bok itu dibentuk dari susunan tanah yang dipotong petak-petak seukuran 30 x 30 cm. Bahasa Taehnya “tanah baatok”. Seperti kita membuat pusara, dipetak-petak tanahnya sedalam 30 cm, terus diambil, diangkat kemudian disusun setinggi 2 meter lah kira-kira. Bok itu seluas 8 x 4 m lah kira-kira. Congkong istilahnya, sebagai tempat orang Ronda, ada palanta tempat duduknya. Setiap ada orang lewat, diperiksa. Bok itu juga bisa sebagai tempat tinggal tentara, basis pertahanan, dan menyimpan peralatan perang. Di Tanjuang Kudu di sebelah hilir itu ada Bok satu, di Tanjuang Unggah juga ada satu lagi.
Untuk menghambat mobilitas Tentara Luar (Tentara PRRI) supaya tidak bebas keluar masuk Taeh, maka tentara pusat memutus jalan raya Taeh yang terletak diantara Dalam Koto dan Parik Dalam, sampai sekarang jalan itu disebut masyarakat sebagai “Lobuah Putuh”. Selain di situ, Lobuah Putuh juga ada jalan arah Guguak. Lobuah itu memang putus di gali sampai ke dasar, bila ada orang yang akan lewat di situ ia harus lewat ke bawah marancah air.
Tentara-tentara itu dulunya mainnya di Surau Ongku Boncah, sepulang berperang di parak Bainah mereka ke Surau Ongku Boncah minta air dan ada juga mereka menyuruh anak-anak mencari nasi, “tolong cari nasi ya dik, kami lapar, agak banyak ya!” pinta mereka sambil menenteng Mortir, Bazoka, cukup jenis senjata yang mereka bawa seperti LMG, Bren dan lain-lain.
Belajar kepada Iyek Gilan
Tibalah waktunya saya diserahkan belajar mengaji kepada Iyek Gilan. Beliau ini termasuk saudara juga oleh abah saya. Iyek Gilan sebaya dengan abah, ketika itu umurnya kira-kira 50 tahun. Surau beliau hanya berjarak 70 m saja dari rumah kami, di suraunya itu kami belajar mengaji sebanyak lebih kurang 50 an orang murid dengan jadwal belajar setelah Magrib sampai pukul delapan malam.
Untuk memasukkan saya mengaji, terlebih dahulu abah saya membuat suatu acara jamuan makan di rumah kami dengan mengundang seorang Tuak Angku untuk mendoa, mengundang Iyek Gilan, keluarga dekat, serta tetangga sekitar.
Setelah makan bersama lalu abah menyampaikan maksud keinginannya kepada Iyek Gilan. “Ini anak Gilan akan saya suruh mengaji kepada Gilan. Jadi sebagai Pancuang Kalam, ini saya serahkan kepada Gilan beras dan rotan, jikalau dia bandel tolonglah pukul dia dengan rotan ini” katanya. Beras itu entah berapa gantang takarannya saya tidak begitu memperhatikan, ada pula beberapa lembar uang di situ, begitulah kira-kira tata caranya, kemudian ditutup dengan bacaan do’a selamat.
Pada hari pertama di Surau Iyek Gilan, saya mesti menunggu dulu semua orang hingga selesai mengaji, setelah itu barulah Iyek gilan memanggail saya untuk mengaji. “Hai Man, kesinilah! Mengaji dengan saya” kata Iyek Gilan sambil memegang-megang rotan. Lalu beliau asah saya tentang masalah Makhrij, tajwid, dan ayat-ayat tertentu lainnya, saya diasap sampai menangis. “Menangis kamu ya? Apa yang bisa kamu dapatkan dari menangis itu?” hardiknya.
Saya lari pulang, sesampai di rumah saya dihardik pula oleh abah “hei mengapa kami lari pulang?”. “Iyek Gilan marah-marah aja abah” jawab saya ketus. “Marah.. marah apa?” katanya bergegas mengambil segenggam lidi Enau, sekitar tujuh batang lidi lah, lalu betis saya dipukul sampai bergaris-garis merah, saya meraung-raung kesakitan menangis mintak ampun. Rupanya penderitaan saya di rumah lebih parah lagi daripada yang saya dapatkan di surau tadi. Sejak sa’at itu, bagaimanapun besarnya penderitaan saya dikala mengaji di surau, saya tidak akan pernah lagi mengadu lari pulang ke rumah.
Itulah cerita bagaimana cara orang tua saya mendidik, namun rotan yang diserahkan kepada Iyek Gilan itu belum pernah digunakan untuk memukul saya.
Ada pula kawan saya namanya Buyuang Etek, suatu kali ia kena marah, Iyek Gilan memintanya menselonjorkan kaki, kami bantu Iyek Gilan memeganginya bersama-sama lalu Iyek Gilan memukul telapak kaki Buyuang Etek itu sebanyak lima belas atau dua puluh kali. Bila kakinya sudah perih lalu pukulan itu dipindahkan lagi ke telapak tangannya.
Iman Datuak
Teman mengaji dan teman sepermainan dengan saya banyak yang senama dengan saya, yaitu “Iman”. Ketika kecil nama kesayangan saya adalah “Iman”, baru sekarang ini orang mengenal nama saya sebagai Sudirman Syair, kalau dulu orang taunya hanya Iman Datuak.
Jadi karena banyaknya teman yang bernama “Iman” mungkin jumlahnya sampai belasan orang, lalu masing-masing kami dibedakan nama masing-masingnya dengan tambahan embel-embel seperti Iman Madi, Iman Oya, Iman Ketek, Iman Balando dan saya sendiri adalah Iman Datuak atau Iman Atuak, maksudnya adalah Iman anak Atuak. Atuak itu adalah panggilan orang-orang terhadap abah saya, beliau dipanggil atuak karena beliau sudah tua. Dan ada juga teman saya yang tidak ada tambahan embel-embel nama lalu ia dipanggil saja dengan “Iman Ajo”.
Mungkin panggilan “Iman Atuak” itu menjadi do’a bagi saya, karena dikemudian hari saya memang diangkat orang menjadi Datuak atau Pengulu di Pesukuan saya dengan gelar Datuak Samulo Nan Balopiah, sama juga dengan orang kampung saya namanya Tami Oji, akhirnya dia pergi haji lalu dipanggil Haji Tami, ada juga Ucan Oji kemudian hari dia dipanggil Haji Ucan.
Masuk Sekolah Rakyat
Tahun 1960 pada usia 9 tahun saya dimasukkan abah ke SR (Sekolah Rakyat) yang terletak di SDN 01 Taeh Baruah sekarang, yang gedungnya besar itu. Dulu sekolah itu terdiri dari SR 01 dan SR 02, saya sekolah di SR 02 nya ketika itu.
Waktu itu ke sekolah kami tidak memakai baju seragam, pakaian yang dipakai ke sekolah diserahkan kepada kemampuan orang tua masing-masing saja. Abah membelikan saya satu stel pakaian baju dan celana berukuran besar untuk dipakai ke sekolah namun sepatu atau terompah tidak ada.
Kata abah “cukup sekali tiga tahun saja beliau membelikan pakaian untuk saya” karena keadaan ekonomi yang sangat susah ketika itu. Dari kelas 1 sampai kelas 5 saya tidak pernah memakai sendal ke sekolah, berjalan berkaki ayam saja.
Abah tidak mau memperturutkan keinginan saya membeli pakaian yang sesuai dengan kehendak hati saya, namun bila harus dibelikan juga ada syaratnya yaitu saya mesti juara kelas, juara satu, dua atau tiga. Beginilah keadaan saya sewaktu sekolah dasar dulu.
Didikan Abah
Abah saya orangnya sangat disiplin dalam mendidik saya. Setelah saya pulang sekolah bukanlah perkara makan yang pertama kali ditanyakannya kepada saya, namun beliau bertanya mengenai shalat. “Eh Man... ! Apakah kamu sudah shalat?”, “belum abah”, “ya shalatlah dulu, shalat dulu, ini sarung, ambil wudhuk, shalat ya..” katanya. Bila ketika itu beliau juga belum shalat, maka beliau langsung jadi imam dan saya wajib mengikutnya jadi makmum. Kemudian setelah selesai shalat, “makan lagi, makan, makan..” katanya, lalu saya makan bersama ibu saya. Setelah makan, lalu abah bercerita-cerita dengan saya tentang pelajaran saya di sekolah. “Bagaimana tadi? Apa belajaran kamu” katanya.
Kadang-kadang sekali seminggu, atau sekali 15 hari beliau wajib bertemu dengan guru saya menanyakan “bagaimana kondisi Sudirman sekolah?, bagaimana nilainya?”, ini selalu dilakukannya. Jikalau ada nilai saya yang buruk, maka habislah saya diasap sampai di rumah. “Itu nilai pelajaran berhitung kamu tadi saya lihat, banyak salah, mari perbaiki lagi” katanya.
Jikalau saya sudah sampai di rumah, abah tidak akan mengizinkan dulu saya bermain keluar rumah, untuk bermain keluar ada pula jadwalnya yaitu setelah shalat Ashar.
Abah tidak melarang saya bermain dengan siapa pun juga, namun beliau selalu mengingatkan saya dengan memberi catatan tentang perilaku teman mana yang baik bagi saya dan mana yang tidak baik. “hati-hati berteman dengan si anu ya, seharusnya temanmu itu adalah si anu, dia lebih bagus akhlaknya”, katanya. Itulah didikan beliau supaya saya lebih baik dan lebih arif di dalam pergaulan. Kemudian bila sudah masuk waktu magrib lalu saya pergi mengaji ke surau Iyek Gilan.
Abah memotivasi saya untuk belajar berceramah, kapan ada waktu luang saya disuruh latihan berceramah berdiri di atas peti di rumah. Seakan diatas mimbar saja rasanya.
Beliau mengajari saya mulai dari mengucapkan salam, membaca muqaddimah pidato lalu menyapa hadirin “ibu-ibu, bapak-bapak, hadirin, hadirat, yang dirahmati Allah, kun fiddunya ghariybun, adalah kamu di dunia ini seperti orang yang merantau, wa saya’uudu Raghib. Orang yang merantau itu pasti akan pulang kembali ke kampungnya. Jadi bapak-bapak, ibu-ibu kita bersiap-siaplah akan pulang kampung, rajin-rajinlah beramal, ta’at beribadah, sempurnakan shalat, ya mengabdi kepada Allah, itu nanti bekal kita untuk pulang kampung, semoga kita selamat dunia akhirat”.
Abah tertawa sambil bertepuk tangan mengapresiasi kebolehan saya berpidato. Itulah contoh bahan pidato yang beliau ajarkan kepada saya. Ketika ada acara yasinan atau shalawatan saya dimintanya untuk menyampaikan pidato tersebut.
Bersama Datuak Ongguang, Datuak Akin dan lain-lain abah ada jama’ah yasinan dan shalawat sekataman Dalaailul Khairat. Bagi mereka kitab shalawat itu sudah hafal itu, saya selalu diajak abah ketika ada acara shalawat. Sesuai sekali irama bacaan shalawatnya bagi saya, saya bisa mengikutinya dan bagi mereka itu sudah hafal semuanya.
Pada malam petang Senin saya sering mengikutinya dan pernah pula beliau marah menekak kepala saya karena memplesetkan beberapa kalimat bacaan do’a penutup shalawat itu.
Istri Datuak Akin itu kebetulan namanya Liana ketika bacaan do’a sudah sampai pada kalimat “hatta tudkhilana madkhalahu wa tukwiana ila jiwarihil” saya pelesetkan menjadi “wa tek liana”. “wa auridna haudhahul ashfa wasqina bikaksihil aufa saya pelesetkan menjadi “wa tuak akin na”. Pokoknya ada kalimat yang mirip dengan itu saya simpang-simpangkan menjadi “Tuak Akin Liana”. Maka melayanglah tangan abah menjitak kepala saya. Itulah diantara suka-duka belajar dengan beliau.
Diizinkan tidur di Surau
Tahun 1962, waktu saya sudah berumur 10 tahun kalau tidak salah, masih duduk di kelas 2 SR. Dimana ketika itu keadaan sudah tenang, perang saudara sudah usai, PRRI sudah bubar, abah mengizinkan saya pada malam harinya untuk tidur di surau.
Sudah lama saya berkeinginan tidur di surau bersama kawan-kawan, namun abah mensyaratkan supaya saya lancar dulu mengaji. Kalau saya sudah bisa membaca al-Qur’an baru boleh tidur di surau.
Setelah selesai mengaji di surau Iyek Gilan, kemudian setelah Isya bersama kawan lainnya kami tidur di Surau Ongku Boncah atau ke surau Datuk Haji Na’im.
Surau Ongku Boncah Itu tidak jauh dari rumah kami, terletak sekitar 120 m saja, atau 50 m dari surau Iyek Gilan, nama tempatnya adalah Tanjuang Joriang jorong Kubu Gadang nagari Taeh Baruah, di sanalah tempat kami diasuh dan dibesarkan sewaktu kecil.
Sudah menjadi tradisi pada masyarakat kita bahwa laki-laki remaja dan yang belum menikah tidurnya itu di surau. Sedangakan perempuan, anak laki-laki dan laki-laki yang sudah menikah tidurnya di rumah.
Jikalau ada seorang anak, yang tidak pernah ke surau atau tidur di surau, nanti ketika bertemu di sekolah akan ditertawakan orang, ia dipanggil “Buyuang Amai”, diarak dengan lagu “bakopik jo amai, bakopik jo amai,” jadi dengan demikian, mau tidak mau teman-teman itu wajib dia datang ke Surau jadinya.
Ada banyak alasan mengapa anak laki-laki remaja disuruh betul tidur di surau ketika itu, diantaranya adalah supaya ia bisa belajar agama, belajar adat, belajar budaya dan belajar silat. Selain alasan itu, dengan kondisi kebanyakan bangunan rumah ketika itu tidak bagus anak laki-laki remaja yang sudah mulai baligh tidur di rumah yang sempit sedangkan dunsanak perempuannya tidur pula bergelimpangan di tengah rumah, apatah lagi kalau saudara perempuannya itu sudah menikah pula, segan dengan sumando. Ya di Surau Ongku Boncah itulah kami tidur berkelompok-kelompok.
Ongku Boncah adalah gelar orang Alim di suatu kepenguluan di Taeh Baruah, gelar itu diwariskan turun-menurun. Ongku Boncah yang saya dapati sewaktu itu nama beliau adalah Abdul Hasim wafat pada usia 120 tahun. Sepeninggalnya kemudian beliau digantikan oleh anaknya Sa’i Datuak Mangguang, kemudian sepeninggal beliau digantikan pula oleh Angku Sahin yaitu adik dari Sa’i Dt. Mangguang tersebut.
Sempat beberapa tahun surau itu tidak aktif dan kemudian lahirlah generasi mudanya bernama Yulismi, beliau lebih tua dari saya satu setengah tahun, dulu kami sama-sama dibesarkan di Surau Ongku Boncah itu. Yulismi inilah yang memikul gala sebagai Ongku Boncah hingga kini (th 2020) dan beliau juga tinggal di surau itu.
Ketika itu bangunan surau Ongku Boncah itu juga berbentuk berlantai dua seperti sekarang, namun dulunya surau itu terbuat dari kayu. Kami tidur di di lantai bawahnya, ketika itu kami dapati lantai atasnya sudah lapuk.
Belajar bercerita
Menjelang tidur pada malam harinya di surau ada satu kebiasaan kami yang unik, yaitu bercerita (mendongeng) atau bakaba sambil menggarut-garut punggung kawan. Di kelompok saya ada sekitar 8 orang, masing-masing kami bergantian bercerita setiap malamnya. Bila seorang bercerita maka yang lainnya menyimak mendengarkan. Kadang-kadang ketika bercerita itu, ada pula kawan yang tertidur, berangsur-angsur rebah satu per satu, tinggal lah si tukang cerita saja lagi bercerita sendiri. Adapun subuh hari, semuanya dibangunkan oleh orang surau.
Nah untuk menghindari ngantuk dalam bercerita maka dibuatlah peraturan bahwa si pendengar diharuskan menggarut-garut punggung kawan atau mencari bintik-bintik gatal di punggung kawannya, itu senang sekali rasanya itu. Saya menggarut punggung kawan dan kawan yang lainpun menggarut punggung saya pula. Kalau ada aktifitas tentu ngantuk hilang jadinya kan dan si tukang cerita tetap bersemangat bercerita jadinya.
Kawan-kawan itu, berbagai-bagai saja yang mereka ceritakan, ketika itu saya tidak tahu berjenis apa cerita-cerita itu, namun kemudian setelah menjadi guru Bahasa Indonesia barulah saya tahu bahwa yang dikisahkan itu ada yang berjenis cerita Fiksi atau yang dibuat-buat saja, ada pula Fabel yaitu tokoh cerita dan pelakunya binatang, ada pula cerita Sage tentang asal-usul nama tempat atau Cerita Berbingkai yang tidak tahu dari siapa cerita itu bermula yang penting ceritanya begini, begitu saja.
Diantara cerita Fabel yang diceritakan teman-teman itu adalah mengambil topik tentang Kancil si cerdik, Singa sebagai raja rimba, Monyet, Buaya dan lain-lain. Mengenai asal-usul nama tempat misalnya cerita asal-usul nama Taeh yang diambil dari nama sebatang pohon yang bernama batang Taeh.
Ada pula yang mereka ceritakan itu berupa Fiksi seperti cerita tahi kotor yang membuat perut mual. Dikisahkan tentang tahi manusia diatas daun talas yang hanyut di dalam selokan. Tahi itu diikuti oleh setiap binatang yang berpapasan dengannya seperti Ikan Limbek, Tikus, Monyet, Sipasan dan binatang lainnya. Tahi itu bisa bicara “saya ini adalah pesanan sianu, raja di negeri anu, jika kamu mau makan saya, maka nanti kamu akan celaka” dan akhirnya tahi dan pengikut-pengikutnya itu sampai di muara dan berhasil membunuh raja lalim.
Teman-teman berlomba-lomba mencari bahan cerita, ada kalanya cerita itu didapat dari orang lain, ataukah dari hasil membaca buku, dikarang sendiri dan lainnya. Jadi situasi itu membuat anak-anak menjadi kreatif dalam mengarang cerita, karena sedari kecil mereka sudah terbiasa mengarang cerita.
Diantara orang-orang hebat hasil didikan surau itu di kemudian hari ada yang menjadi politikus, sastrawan, ulama, pemimpin, mereka sangat pandai berdebat, pandai bercerita dan bela diri, karena mereka sudah terlatih sejak kecil seperti itu di surau.
Diantaranya adalah “Ninik” yang lebih dikenal dengan nama Chairil Anwar, ia adalah seorang penyair legendaris yang disebut juga sebagai “Si Binatang Jalang” (dalam karyanya berjudul “Aku”).
Kalau kita baca tulisan tentang profil Chairil Anwar (Ninik) didapati “ ia dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922 dan wafat di Jakarta, 28 April 1949 dalam usia 27 tahun. Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati di Rengat kabupaten Indragiri Hulu Riau, Toeloes berasal dari Parik Dalam Taeh Baruah, sedangkan ibunya bernama Saleha orang Situjuah Lima Puluh Kota, ada juga orang mengatakan bahwa ibunya adalah orang Medan, ada juga orang mengatakan bahwa ibunya berdarah Jawa.
Di dalam buku Seri Tempo: Chairil Anwar Bagimu negeri menyediakan api, kepustakaan Populer Gramedia, 10 Okt 2016 diceritakan bahwa dulu ketika Chairil Anwar masih usia remaja ia pernah pula menulis puisi di gubuk bekas surau di kampung halaman abahnya di Taeh Baruah. Gubuk kayu berkeliling kolam ikan itu dulu dikenal orang dengan nama Surau Rauf. Di sinilah penyair Chairil Anwar pernah belajar mengaji, juga menulis puisi, dulu surau ini cukup besar, tetapi sebagian sudah roboh.
Yurida Emni (72 th) menceritakan dulu surau itu di urus oleh Imam Dorouh. Nama Aslinya adalah Abdur Rauf adik kandung dari Toeloes dibawah Burhanudin (pak etek Chairil Anwar). Adik Rauf ini adalah Zulbaida (Bida) ibu saya. Suku Sipisang, kampuang Sembilan, pengulunya adalah Datuak Baduah.
Zulkifli (76 tahun) anak keempat dari Zulbaida (sepupu Chairil Anwar) di dalam buku itu juga menceritakan kisah Ninik (Chairil Anwar) kecil yang sering menolak perintah guru ngajinya dengan berbagai alasan. Kalau giliran azan magrib, dia selalu tak berada di surau. Waktu diminta azan Isya, dia menolak dengan alasan mengantuk. Ninik biasanya hanya bersedia mengumandangkan azan waktu subuh saja untuk membangunkan neneknya, agar beliau cepat memasak. Dan nanti sepulang dari surau ia bisa makan nasi panas.
Jadi itulah barangkali yang membuat Ninik atau Chairil Anwar ini menjadi penyair karena sudah terlatih mengarang sewaktu di surau dan kemudian bisa pula diaplikasikannya berbentuk puisi. Sampai-sampai ketika dia baru belajar di sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) setingkat SMP di Medan, sudah ratusan puisi yang ia terbitkan. Akhirnya Chairil Anwar itu oleh negara republik Indonesia dikenal sebagai sastrawan pelopor angkatan 45 kan? Puisi-puisinya membangkitkan semangat cinta tanah air, cinta merdeka, cinta negara kesatuan. Bahkan dirinya turut andil dalam membuat slogan propaganda kemerdekaan Republik Indonesia pada masa penjajahan Jepang.
---------------------------------------------------------------
Riwayat Hidup H. Sudirman Syair Bag. 4
-------------------------------------------------------
0 Komentar