RIWAYAT HIDUP H. SUDIRMAN SYAIR
H. Sudirman Syair, Amd. Dt. Samulo Nan Balopiah di Surau Baru Mungka |
BELAJAR DI MTI SURAU BARU MUNGKA
Setelah tamat SD (Sekolah Dasar) pada akhir tahun 1966 dalam usia 14 tahun, masih dalam suasana penumpasan Gestapu PKI. Abah memasukkan saya menyambung pendidikan ke MTI (Madrasah Tarbiyah Islamiyah) Surau Baru Mungka yang diasuh oleh Syekh Muhammad Djamil Sa’adi.
Pada tahun 1967 terjadi perpanjangan tahun ajaran sekolah, barangkali dari bulan Januari menjadi bulan Juli. Sebelumnya juga begitu, pada tahun 1965 perpindahan tahun ajaran dari bulan Juli ke bulan Januari.
Itu terjadi di Zaman Orde lama keduanya itu. Penyesuaian dengan kalender pendidikan internasional. Karena tamat pendidikan di bulan Januari itu, calon-calon mahasiswa kita yang akan menyambung kuliah ke luar negeri terpaksa menganggur dulu menunggu selama 6 bulan. Makanya dikembalikan lagi ke bulan Juli.
Abah saya Muhammad Syair dulunya juga belajar di MTI Surau Baru Mungka itu. Syekh H. Muhammad Djamil Sa’adi juga merupakan guru beliau. Namun beliau belajar di sana hanya sampai kelas 5 Tarbiyah saja, tidak sampai tamat kelas 7. Hal itu mungkin karena beliau sibuk mencari nafkah untuk keluarga. Ketika itu beliau sudah berusia agak tua juga belajar di sana, beliau hampir-hampir sebaya umurnya dengan H. Muhammad Djamil Sa’adi tersebut.
Abah saya pekerjaannya adalah menjual Lomang Kalamai dengan Gerobak Kayu ke pokan-pokan (pasar). Biasanya beliau berjualan setiap hari Sabtu di pokan Donguang-donguang dan Selasa di pokan Mungka. Pergi pagi dan pulang pada sore harinya, bahkan ada juga pulang sampai larut malam.
Pada awalnya abah berencana akan memasukkan saya ke MTI Canduang Agam, tetapi karena beliau sudah uzur dan lelah akhirnya saya beliau masukkan saja ke MTI (Madrasah Tarbiyah Islamiyah) Surau Baru Mungka Pimpinan H. Muhammad Djamil Sa’adi (W. 1971) anak dari Syekh Sa’ad AL-Khalidi Mungka (1857 – 1922). Pada masanya Syekh Sa’ad adalah salah seorang ulama besar, tokoh tarekat Naqsabandiyah al-Khalidiyah, juga sebagai guru dari ulama-ulama besar Aswaja terkemuka Minangkabau.
Saya diantar langsung oleh abah menemui gurunya H. Djamil Sa’adi dan kepala sekolahnya Buya Imam Agus Dt. Monti, saya diserahkan kepada mereka untuk mempelajari ilmu Agama di MTI Surau Baru Mungka. Ketika itu usia saya sudah 15 tahun, sudah agak mandiri juga.
Awalnya saya berulang pulang-pergi ke sekolah setiap harinya. Pergi pagi dan pulang siang hari. Ada kawan yang sama berjalan kaki dengan saya ke sekolah waktu itu, namanya Nurhayati, S (Ati. S). Kemudian hari di Taeh beliau dikenal orang dengan panggilan “Ati Bunda”, rumahnya di belakang kantor wali nagari Taeh Baruah.
Kami sering sama berjalan ke sekolah. Kadang sendiri-sendiri saja. Jalan Taeh ke Mungka ketika itu masih jalan tanah, namun bersih. Itu adalah jalan buatan Belanda tempat lewat Pedati dan Bendi. Kondisi jalan lengang sekali, rumah-rumah masih jarang. Di sebelah kanan dan kiri jalan masih hutan dan rawa-rawa.
Dari Surau Ongku Boncah Taeh itu dulu hanya ada satu rumah saja di sebelah kiri jalan. Kemudian agak jauh dari situ baru ada pula rumah di sebelah kanan jalan. Kemudian baru ada pula rumah di bateh Taeh dan Mungka, ada rumah bersusun Sirih di situ dulunya. Kemudian agak jauh dari situ baru ada bangunan sekolah MTI Surau Baru Mungka di sebelah kiri jalan. Di situ sekolah kami. Menjelang ke sekolah itu bertaut tumbuh pohon beringin di kiri-kanan jalan. Kemudian dalam masa setengah abad sampai sekarang, ramailah bangunan di sepanjang jalan itu dan jalannya pun beraspal licin.
Di setentang gelanggang Kubu Godang itu dulunya sampai batas Mungka bertaut pula tumbuh rumpun bambu di kiri-kanan jalan. Dekat surau buya Zed sekarang bertaut tumbuh beringin di kiri-kanan jalan ketika itu.
Jika takut jalan melewati jalan raya, maka di ujung Kubu Godang Taeh, maka kami mengambil jalan masuk ke dalam kampung dan nanti akan keluar di surau Haji Ketek dekat sekolah kami MTI Surau Baru Mungka.
Ada kebiasaan kami yang unik ketika berangkat ke sekolah. Bila berjalan sendirian ke sekolah, setelah sampai di surau Haji Ketek itu, Nurhayati. S memperhatikan keadaan air di dalam kolam di dekat surau itu. Bila airnya masih bersih, maka ikannya akan ia kejutkan, sehingga ikan itu berlari ke sana ke mari yang membuat airnya keruh sebagai pertanda kalau ia sudah lewat. Bila saya melewati kolam ikan tersebut, maka saya pun akan memandang ke sana melihat pedoman. Bila airnya sudah keruh berarti Nurhayati. S sudah lewat mendahului saya. Dan bila saya mendapati air kolamnya masih bersih, itu artinya Nurhayati. S belum lewat, lalu saya beri pula kode dengan mengejutkan ikan itu sehingga air di kolam itu menjadi keruh pertanda saya sudah lewat.
Walaupun saya berulang pulang-pergi ke sekolah, namun sesekali saya tinggal bermalam juga di asrama yang bertempat di surau Alm. H. Muhammad Djamil Sa’adi. Saya bersama puluhan kawan lainnya dulu diam di situ. Surau itu terletak di depan masjid Assa’adi sekarang. Dulu surau itu terbuat dari kayu semuanya, itulah asrama kami. Kalau murid-murid perempuan dulunya tinggal di sebelah masjid Sa’adi, asrama mereka yaitu di surau Syekh Imam Agus Dt. Monti.
Saya masih ingat beberapa orang kawan dulunya yang sama bersekolah dengan saya di sini, diantaranya adalah ustazd Dahimir, Almarhum Buyuang Nodo, Darnas Dt. Gindo. Kemudian Wirman Agus, ia anak dari Alm. Buya Imam Agus. Selanjutnya Nurhayati. S dan Nur Hasmi, keduanya pernah mengajar di Ponpes Ma’arif Assa’adiyah selama 10 tahun (sampai th. 2014). Terus Nurniatis. Kemudian Mardilis dari Pongkai Riau, Hasnini dan lain-lain sebagainya.
Sekolah kami Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Surau Baru itu terletak di seberang jalan raya berhadapan dengan gerbang masjid Assa’adi. Lokal-lokal belajarnya terbuat dari kayu berdinding bambu berjejer di atas sana. Tahun 2020 lokasinya sudah menjadi kebun, penuh dengan tumbuhan berupa pisang, ubi dan tanaman lainnya, hanya jenjang beton saja yang tersisa sebagai saksi sejarah menjulur ke jalan raya.
Dulu surau baru yang dibangun oleh buya Muhammad Sa’ad itu tiang-tiangnya besar-besar lebih dari sebesar pohon kelapa. Konon kabarnya berasal dari kayu Juar yang dibawa dari bukit Kanduang, Rimbo Rupi Taeh Bukit. Entah bagaimana cara orang membawanya ke sana, kita tidak mengerti. Yang di bawah dulunya adalah Surau Suluak yang diatasnya adalah tempat shalat.
Diantara guru-guru saya waktu itu adalah Buya H. Muhammad Djamil Sa’adi, ustazd Syarkawi Bur, ustazd H. Zubir Dt. Bujang Nan Hitam, ibu Darwisah dan lain-lain. Kami belajar layaknya seperti Madrasah Salafiyah sekarang ini, ada jam pelajarannya, ada kitab-kitanya, menulis dan mencatat juga, masuk pagi dan pulang siang hari, kemudian shalat, makan, dan istirahat. Pada sore harinya ada pula kawan yang berlarian, main bola, ada pula yang pergi menghafal ke rumah guru.
Untuk makan, kami memasak nasi satu periuk bersama, lalu makan dengan sambal bawaan masing-masing dari rumah. Saya waktu itu tidak ada main-main, fokus saja belajar, karena usia bermain saya sudah lewat, ketika itu saya sudah berumur 15 tahun.
Ketika saya duduk di kelas 2 MTI Surau Baru Mungka tahun 1968, bersama teman-teman lainnya, kami sering menghafal mengulang pelajaran di rumah ibu Darwisah di Durian Bungkuak Kubu Gadang Taeh. Ibu Darwisah adalah salah seorang guru kami yang mengajar Kitab Gundul di MTI Surau Baru Mungka. Suami dari ibu Darwisah ini bernama M. Yunus Muin.
Diantara teman-teman yang sama menghafal mengulang pelajaran dengan saya di rumah ibu Darwisah itu adalah Dalisman, ia lebih senior dari saya, ia waktu itu kelas 5 di MTI Surau Baru Mungka. Kemudian Darnas. Dt. Bagindo, ia sekolah di MTI Surau Baru Mungka. Kemudian hari ia menjadi salah seorang dosen di Universitas Islam As-Syafi'iyah (UIA) Jakarta Timur. Kemudian Nurhayati. S, Nurhayati. P (Ati Lanik atau Lanis), Nurniatis, ia meninggal karena Tsunami di Banda Aceh bersama keluarganya pada 26 Desember 2004. Kemudian Rosnini. Setelah itu Himler Usman, murid MTI Koto Panjang, orang Air Bangis Pasaman Barat. Beliau baru meninggal sekitar bulan Agustus 2020. Diakhir hidupnya ia masih menjabat sebagai salah seorang pengurus di yayasan As-Syafi'iyah Jakarta Timur. Dan ada lagi Adik dari Dalisman sendiri, namanya Nur Hasmi dan temannya bernama Yulni Marlis. Ada pula anak STN (Sekolah Teknik Negeri) Daguang-danguang yang bernama Harmen. Dia menyesal tidak masuk ke MTI, makanya ia ikut mengaji dengan kami. Ini semuanya masuk rombongan kami.
Dalam kebersamaan itu kami semua termotivasi ingin mahir membaca Kitab Kuning, alhamdulillah di kemudian hari semuanya berhasil kecuali Hasnini dan Nurhayati. P, karena mereka cepat menikah. Kami-kami yang menghafal di rumah ibu Darwisah ini, walaupun berlainan jenis, tetapi dengan motivasi ingin menjadi orang alim, tidak ada masalah yang membawa kami kepada hubungan muda-mudi di waktu itu.
Pada malam harinya kami belajar di Surau membahas ilmu Fiqh, ilmu kewarisan, ilmu tasauf dan ilmu nahwu saraf dengan Buya H. Muhammad Jamil Sa’adi.
Kabarnya ketika beliau ditinggalkan oleh sang ayah almarhum buya Muhammad Sa’ad al-Khalidi, ketika itu beliau masih dalam keadaan lalai, boleh dibilang sedikit pareman. Namun ketika Syekh Sa’ad wafat, murid kelas akhir sedang banyak pula, yaitu kelas 7-a, 7b, kelas 6 begitu pula, gurunya tidak ada melainkan ayah beliau sahaja. Maka beliaulah yang menggantikannya.
Sewaktu kami diam di surau beliau, ada beberapa hal yang mengganjil yang kami lihat dari almarhum H. Muhammad Jamil Sa’adi, diantaranya adalah;
- beliau memiliki koleksi kitab yang bermacam-macam. Ketika membuka lembaran kitab mencari suatu topik mas’alah beliau memejamkan mata sambil membaca doa, saya tidak tahu beliau membaca doa apa. Lalu beliau bukalah suatu halaman kitab, ya itulah dia pas halaman yang beliau cari tersebut yang terbuka. Misalnya kitab I’anatutthalibin, masalah Munakahat contohnya, pertama beliau buka kitab itu selesai sekali, tidak ada cari-carinya, yang pokok bukak pertama selesai. “Aaa ini lah dia, pas terbuka” katanya.”
- Beliau itu setahu saya tidak pernah naik mimbar, tidak pernah berkhutbah. Saya liat tidak pernah dan saya dengarpun tidak pernah. Tetapi kalau mengaji, apapun kitabnya tuntas oleh beliau. Apa saja pertanyaan, beliau bisa menjawabnya. Setiap hari Selasa mulai jam 7 sampai Zuhur beliau ada wirid dengan para ulama, para buya-buya, mengaji masalah kitab gundul, mengaji Banani, Ihya Ulumuddin, ilmu Mantiq seperti Alluma’ dan lain-lain, kemudian shalat berjama’ah, baru bubar.
- Walaupun beliau ada belajar ilmu tariqat dan bersuluk dengan Syekh Abdul Ghani Batu Basurek-Kampar tetapi beliau tidaklah mursyid, namun buya Imam Agus Mursyid Tariqah yang ada di surau itu sering beliau ingatkan dalam kepemimpinannya sebagai Mursyid. Ada orang Suluk itu yang salah adab, kamar mana kelambu mana beliau tahu itu, beliau panggil Imam Agus itu “ini murid kamu yang kelambu nomor sekian itu bagaimana itu,” katanya.
- Setiap kali tersangkut kajinya, semisal ada pertanyaan yang tidak bisa beliau jawab dari murid-muridnya maka beliau minta permisi dulu ke bawah, kadang bisa agak lama baru beliau balik. Kata orang beliau masuk dulu ke tonde atau jamban (wc). Setelah kembali ke ruang belajar, beliau langsung mengambil kapur ditulis seraya berkata “dimana kaji kita tersangkut tadi?” lalu beliau terangkan setuntas-tuntasnya.
- Beliau bisa bercerita (kaba) bersambung-bersambung terus setiap malamnya. Sesudah kami menghafal pelajaran sekitar pukul 9 malam, lalu memijit-mijit kaki beliau, berganti-ganti kami mengurut kakinya. Kadang-kadang beliau yang memanggil kami untuk memijit kakinya, sambil berbaring lalu Buya H. Djamil bercerita tentang kisah-kisah yang mengandung nasehat, keilmuan, malah banyak berdasarkan hadis-hadis dan firman Allah SWT. Kalau beliau sudah nampak kelelahan, lalu kami berhenti mengurut kakinya, beliau langsung tertidur, kalau belum juga kami berhenti memijit, maka beliau akan terus bercerita. Pada malam berikutnya kami datang lagi mengurut kaki beliau, lalu beliau berkata “kita sambung lagi cerita ya, sampai di mana kemaren? Dah sampai di situ, aaa ya, langsung beliau sambung. Beberapa bulan kisah itu bisa terus bersambung-sambung tidak ada habisnya. Setelah saya kuliah di IKIP Padang barulah saya tahu rupanya kisah-kisah itu adalah cerita seribu satu malam, entah dari mana beliau mendapatkannya, entahlah, isinya nasehat semua.
- Beliau itu sebetulnya kan orang Jopang manganti, kemudian pada suatu saat, datang keluarga sukunya membawa hasil panen padi untuk beliau dalam persukuan. “Oo Tuak.. ini hasil sawah yang milik datuak, terimalah tuak, manfaatkanlah” kata kemenakan atau cucu beliau itu. Beliau bukan Datuak Pangulu, dipanggil datuak karena sudah tua saja. Kalau ayahnya memang Pangulu bergelar Datuak Monti. Jadi surau baru tempat beliau tinggal itu sebenarnya pusaka ayahnya Syekh Muhammad Sa’ad Alkhalidiy Datuak Monti.
Lalu beliau menjawab “Aa silahkan ambil sajalah semua untuk kalian”, “ini hak mamak ini, hak datuak, ambillah tuak!”. “Sebetulnya secara syar’i tidak ada hak saya di situ, kenapa tidak ada hak saya? Walaupun harta pusaka itu ranjinya milik saya, tetapi saya tidak ada modal di sana, tidak pernah saya garap tidak pernah saya mengupahkan, tidak pernah saya turun ke sawah, tidak pernah saya, ni harta Minang ini kan samar-samar, termasuk Syubhat,”. “Manittaqa Syubhata” kata beliau “faqadistamraa lidiynihi wa ‘irdhihi, orang yang terpelihara dia dari hal yang Subhat, berarti dia sudah memelihara agamanya, dan sudah memelihara kehormatannya, ambillah ini untuk kalian semuanya, kalian lebih membutuhkannya” kata beliau.
Abah Meninggal Dunia
Ketika saya masih duduk di kelas 3 MTI Surau Baru Mungka, sekitar bulan Januari tahun 1969 abah saya Muhammad Syair meninggal dunia dalam usia 65 tahun, beliau lahir pada tahun 1904.
Abah ketika itu meninggal dalam kondisi sakit, sakitnya tidak begitu parah, namun yang membuat saya bergidik adalah prediksi beliau tentang waktu kematiannya.
Pada suatu pagi, dikala itu hari Senin, saya tidak berangkat ke sekolah karena abah dalam keadaan sakit. Abah berkata kepada saya “Man kesini lah kamu”, “iya abah, ada apa?”, “Abah hari Kamis besok mungkin akan meninggal Man, sebelum shalat Ashar”. Saya heran dan bercampur sedih mengiyakan perkataan beliau. “Itu sudah penuh tu cupak gantang saya, sudah membubung” katanya. “Aaa tu bagaimana lagi bah, apa yang harus saya perbuat?“ jawab saya dengan mata sabak. “Ya itu untuk kamu ketahui saja” katanya tenang.
“Beri maaf saya ya abah, mohon do’a ya abah untuk amai dan saya juga, semoga saya berhasil sampai jadi seorang ulama, menjadi seorang yang berjasa sebagai manusia yang berbuat baik untuk mendoakan abah dengan amai insyaallah.” pinta saya.
“Kamu abah do’akan, tidak akan abah bebani dengan kesalahan, kamu sudah abah beri ma’af.” jawab beliau mengusik kesadaran saya.
“Man, tolong kesini kamu lah!”. “ada apa abah”. “Tolong dukuang saya di punggungmu, dukuang saya ya Man, sekali ini saja saya minta gendong kepada kamu” kata abah memohon.
Lalu saya dukuang lah baliau itu di pungguang saya, beliau bergelayut ke bahu dan leher saya. Tidak lama kemudian beliau minta turun “sudah Man, sudah cukup, sudah kamu dukung saja saya, sudah senang hati saya” kata abah haru campur bahagia.
Bengkak rasanya tenggorakan saya menahan isak tangis, air mata meleleh tidak tertahankan di sudut mata saya.
“Seumur hidup, saya sudah mencoba kamu dukuang (gendong) Man, sudah senang hati saya, sudah cukup rasanya, saya sudah mencoba kamu dukuang, mudah-mudahan berkah” kata beliau sumringah.
Pada hari Kamis berikutnya memang benar, sekitar jam 3 sore, beliau anfal, keringat bercucuran keluar dari kepalanya sampai ke ujung kaki. Saya dibikin cemas. Berliau berkata “Man! Tolong panggil Tuak Ongguang lah”. Datuak Ongguang itu adalah kawan beliau seorang mursyid Tariqat Naqsabandi, tempat beliau adalah di surau Ongku Boncah. Abah jauh lebih tua dari Datuak Ongguang itu.
Lalu Datuak Ongguang datang, “Ooo Onggung! Yang mana kaji yang akan saya pakai? Yang diatas atau yang di bawah? Saya tidak tahu” kata abah.
Itu sepertinya yang beliau tanya itu adalah kaji Tariqat. “Yang mana yang akan saya pakai, yang diatas atau yang dibawah?“ kata abah. Datuak Ongguang menjawab “Yang mana yang mamak senang saja lah!” katanya kepada abah.
“Aa jadilah, insyaallah akan saya lakukan” kata abah.
Lalu abah meminta saya lagi “Man tolong katakan kepada tamu-tamu yang akan naik ke rumah ini membezuk saya supaya mereka hati-hati melangkah, jangan kuat-kuat berjalan, jangan sampai bertanya-tanya, jangan pula mengobrol, ragu saya jadinya.”
“Baik abah” jawab saya.
Rumah kami ketika itu kan rumah kecil terbuat dari papan, lantainya terbuat dari pelupuh. Tidak sampai 10 menit setelah itu Datuak Ongguang berkata kepada saya “Man! Abah kamu sudah pergi”.
Saya berucap “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun”. Ikhlas saya melepasnya, walaupun hati ini mencoba tenang, namun perasaan belum bisa menerimanya. Terbayang seluruh jasa-jasa orang tua yang belum bisa saya balas, saya belum sempat menyenangkan beliau. Oh abah... semoga engkau bahagia di alam sana, semoga Allah menerima engkau di Sisi-Nya dan mengampuni segala dosa-dosa abah.
Semangat Belajar Menurun
Meninggalnya abah sangat mempengaruhi hidup saya. Betapa tidak, beliau yang menjadi tulang punggung keluarga telah tiada, tinggallah saya dengan Amai yang berusaha menyesuaikan diri hidup tanpa beliau.
Amai tetap melanjutkan usaha abah sebagai penjual lemang ke pasar-pasar, namun tidak berselang lama, amai berhenti berjualan karena tidak biasa. Beliau melanjutkan pekerjaan kesehariannya ke sawah dan ke Ladang.
Beberapa minggu sepeninggal beliau, semangat belajar saya menurun, saya kehilangan motivasi bersekolah jadinya. Ditambah lagi kondisi guru kami di MTI Surau Baru Mungka yaitu Buya H. Muhammad Djamil Sa’adi sudah uzur pula, beliau sering sakit-sakitan, tidak sanggup lagi mengajar kami.
Ustazd Zubir Dt. Bujang Nan Hitam, salah seorang guru kami di MTI Surau Baru Mungka itu sangat hiba dan begitu perhatian kepada saya. Beliau dengarkan keluhan hati saya dan bicara dari hati ke hati dengan saya.
“Di MTI Surau Baru ini tidak ada buya lagi ustazd, itulah yang membuat saya kurang minat lagi untuk belajar. Saya mau pindah saja ke MTI Koto Panjang ustazd, anak-anak Koto Panjang itu prestasinya menonjol dimana-mana.” kata saya.
“Kalau begitu, pindahlah kamu sekolah ke sana, nanti akan saya bantu” kata ustazd Zubir Dt. Bujang Nan Hitam. Saya sangat senang, dan berharap mudah-mudahan mendapat spirit yang baru dalam menunaikan tugas belajar.
Ketika saya pindah ke MTI Koto Panjang itu, ikut pula pindah salah seorang teman saya ke sana, namanya Dasril, adik dari almarhumah ibu Nurbayani (istri alm. Saruardi mantan Kemenag Lima Puluh Kota), anak dari ibu Ratnawilis dan Ongku Lobuah Taeh. Namun Dasril ini di MTI Koto Panjang hanya sampai kelas 6 saja, sedangkan saya alhamdulillah tamat sampai kelas 7.
---------------------------------------------------------------
Riwayat Hidup H. Sudirman Syair Bag. 6
-------------------------------------------------------
0 Komentar